Sejarah Kartini | Habis Gelap Terbitlah Terang -
Kartini memiliki cita cita besar yang terbersit dalam buku sejarah Kartini yang
berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang. dialah wanita Indonesia yang memiliki
citra sebagai seorang wanita yang ingin membela hak hak wanita agar tidak
tertindas terutama adalah hak pendidikan dan hak untuk berkarir, hingga
disebutlah emansipasi wanita. Sehingga setiap tahun peringatan Kartini akan
dijadikan semangat bagi kaum wanita untuk menumbuhkan kembali semangat ke
Kartinian, dari tingkat playgroup diselenggarakan acara memperingati semangat
Kartini sampai dengan mereka yang telah bekerja dan berkarir.
Meski kartini telah tiada namun semangatnya untuk
memperjuangkan kaum wanita terus berkobar, sebagai contoh kartini Indonesia
yang sukses adalah Megawati yang menjadi Presiden RI, Wali kota Surabaya saat
ini Ibu Risma, dan masih banyak lagi kisah sukses Kartini Modern lainnya.
Baiklah, untuk mengenang kembali kisah dan sejarah kartini
mari kita kupas sedikit tentang sejarah Kartini yang tertuang pada buku sejarah
kartini : Habis Gelap Terbitlah Terang beserta Surat Suratnya.
Dalam Sejarah Kartini disebutkan, Dulu pas RA Kartini dilahirkan,
ayah nya msh berkedudukan sebagai wedono mayong, sedangkan ibunya adalah
seorang wanita berasal dari desa Teuk Awur yaitu Mas Ajeng Ngasirah yang
berstatus garwo Ampil. RMAA Sosroningrat dan urutan keempat dari ibi kandung
Mas Ajeng Ngasirah, sedangkan eyang RA Kartini dari pihak ibunya adalah seorang
Ulama Besar pada masa itu bernama Kyai Haji Modirono dan Hajjah Siti Aminah.
Kutipan dari Sejarah
Kartini, Istri kedua ayahnya yang berstatus garwo padmi adalah putri
bangsawan yang dikawini pada tahun 1875 keturunan langsung bangsawan tinggi
madura yaitu raden ajeng Woeryan anak dari RAA Tjitrowikromo yang memegang
jabatan Bupati Jepara sebelum RMAA Sosroningrat. Perkawinan dari kedua istrinya
itu telah membuahkan putera sebanyak 11 (sebelas) orang.
Kartini yang kita kenal itu pertama kali menghirup udara
segar yaitu disebuah desa di Mayong yang terletak 22 km sebelum masuk jantung
kota Jepara. Disinilah Kartini dilahirkan oleh seorang ibu dari kalangan rakyat
biasa yang dijadikan garwo ampil oleh wedono Mayong RMA Sosroningrat. Anak yang
lahir itu adalah seorang bocah kecil dengan mata bulat berbinar-binar
memancarkan cahaya cemerlang seolah menatap masa depan yang penuh tantangan.
Hari demi hari beliau tumbuh dalam suasana gembira, dia
ingin bergerak bebas, berlari kian kemari, hal yang menarik baginya ia lakukan
meskipun dilarang. Karena kebebasan dan kegesitannya bergerak ia mendapat
julukan TRINIL dari ayahnya. Kemudian setelah
kelahiran RA Kartini yaitu pada tahun 1880 lahirlah adiknya RA Roekmini dari
garwo padmi. Pada tahun 1881 RMAA Sosroningrat diangkat sebagai Bupati Jepara
dan beliau bersama keluarganya pindah ke rumah dinas Kabupaten di Jepara.
Pada tahun yang sama lahir pula adiknya yang diberi nama RA
Kardinah sehingga si trinil senang dan gembira dengan kedua adiknya sebagai
teman bermain. Lingkungan Pendopo Kabupaten yang luas dan megah itu semakin
memberikan kesempatan bagi kebebasan dan kegesitan setiap langkah RA Kartini
untuk menuju harapan baru.
Sifat serba ingin tahu RA Kartini inilah yang mrnjadikan
orang tuanya semakin memperhatikan perkembangan jiwanya. Memang sejak semula RA
Kartini paling cerdas dan penuh inisiatif dibandingkan dengan saudara perempuan
lainnya. Dengan sifat kepemimpinan RA Kartini yang menyolok, jarang terjadi
perselisihan diantara mereka bertiga yang dikenal dengan nama TIGA SERANGKAI meskipun dia agak diistimewakan dari yang lain.
Dalam buku sejarah
Kartini disebutkan bahwa : Agar puterinya lebih mengenal daerah dan
rakyatnya RMAA Sosroningrat sering mengajak ketiga puterinya jalan jalan dengan
menaiki kereta. Ini semua hanya merupakan pendekatan secara terarah agar
puterinya kelak akan mencintai rakyat dan bangsanya, sehingga apa yang
dilihatnya dapat tertanam dalam ingatan RA Kartini dan adik-adiknya serta dapat
mempengaruhi pandangan hidupnya setelah dewasa.
Sejarah
Kartini - Saat mulai menginjak bangku sekolah EUROPESE LAGERE SCHOOL
terasa bagi RA Kartini sesuatu yang menggembirakan. Karena sifat yang ia miliki
dan kepandaiannya yang menonjol RA Kartini cepat disenangi teman-temannya..
Kecerdasan otaknya dengan mudah dapat menyaingi anak-anak Belanda baik pria
maupun wanitanya, dalam bahasa Belanda pun RA Kartini dapat diandalkan. Ditulis
dalam buku : Dari Gelap Menuju Terang.
Setelah diterjemahkan kedalam bahasa yang lebih sempurna
yaitu Habis gelap terbitlah terang dijelaskan tentang sejarah Kartini
yaitu : Menjelang kenaikan kelas di saat liburan pertama, NY. OVINK SOER dan
suaminya mengajak ra Kartini beserta adik-adiknya Roekmini dan Kardinah
menikmati keindahan pantai bandengan yang letaknya 7 km ke Utara Kota Jepara,
yaitu sebuah pantai yang indah dengan hamparan pasir putih yang memukau
sebagaimana yang sering digambarkan lewat surat-suratnya kepada temannya Stella
di negeri Belanda. RA Kartini dan kedua adiknya mengikuti Ny. Ovink Soer
mencari kerang sambil berkejaran menghindari ombak, kepada RA Kartini
ditanyakan apa nama pantai tersebut dan dijawab dengan singkat yaitu pantai
Bandengan.
Kemudian Ny. Ovink Soer mengatakan bahwa di Holland pun ada
sebuah pantai yang hampir sama dengan bandengan namanya Klein Scheveningen
secara spontan mendengar itu RA Kartini menyela kalau begitu kita sebut saja
pantai bandengan ini dengan nama Klein Scheveningen.
Sejarah Kartini semoga tak terulang - Selang beberapa tahun
kemudian setelah selesai pendidikan di EUROPASE LEGERE SCHOOL, RA Kartini
memiliki keinginan untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, namun timbul
keraguan di hati RA Kartini karena terbentur pada aturan adat apalagi bagi kaum
ningrat bahwa wanita seperti dia harus menjalani pingitan, Kasihan...
Dalam Sejarah Kartini dituliskan - Memang sudah saatnya RA
Kartini memasuki masa pingitan karena usianya telah mencapai 12 tahun lebih,
ini semua demi keprihatinan dan kepatuhan kepada tradisi ia harus berpisah pada
dunia luar dan terkurung oleh tembok Kabupaten. Dengan semangat dan
keinginannya yang tak kenal putus asa RA Kartini berupaya menambah
pengetahuannya tanpa sekolah karena menyadari dengan merenung dan menangis
tidaklah akan ada hasilnya, maka satu-satunya jalan untuk menghabiskan waktu
adalah dengan tekun membaca apa saja yang di dapat dari kakak dan juga dari
ayahnya.
Beliau pernah juga mengajukan lamaran untuk sekolah dengan
beasiswa ke negeri Belanda dan ternyata dikabulkan oleh Pemerintah Hindia
Belanda, hanya saja dengan berbagai pertimbangan maka besiswa tersebut
diserahkan kepada putera lainnya yang namanya kemudian cukup terkenal yaitu H.
Agus Salim.
Sejarah Kartini pun menyebutkan adanya cerita tentang Bupati
RMAA Sosroningrat dan Raden Ayu yang menerima kedatangan tamu utusan yang
membawa surat lamaran dari Bupati Rembang Adipati Djojoadiningrat yang sudah
dikenal sebagai Bupati yang berpandangan maju dan modern. Tepat tanggal 12
November 1903 RA Kartini melangsungkan pernikannya dengan Bupati Rembang
Adipati Djojodiningrat dengan cara sederhana.
Pada saat kandungan RA Kartini berusia 7 bulan, dalam
dirinya dirasakan kerinduan yang amat sangat pada ibunya dan Kota Jepara yang
sangat berarti dalam kehidupannya. Suaminya telah berusaha menghiburnya dengan
musik gamelan dan tembang-tembang yang menjadi kesayangannya, namun semua itu
membuat dirinya lesu.
Pada tanggal 13 September 1904 RA Kartini melahirkan seorang
bayi laki-laki yang diberi nama Singgih/RM. Soesalit. Tetapi keadaan kesehatan
RA Kartini semakin memburuk meskipun sudah melakukan perawatan khusus dan
berobat, namun akhirnya pada tanggal 17 September 1904 RA Kartini menghembuskan
nafasnya yang terakhir pada usia 25 tahun.
Sekarang RA Kartini telah tiada dan tinggal Sejarahnya,
cita-cita dan perjuangannya telah dapat kita nikmati, kemajuan yang telah
dicapai kaum wanita Indonesia sekarang ini adalah berkat goresan penanya semasa
hidup yang kita kenal dengan buku HABIS GELAP TERBITLAH TERANG.
Dan ini adalah beberapa isi Surat kartini yang berhasil
ditemukan dalam sejarah kartini :
“Menyandarkan diri kepada manusia, samalah halnya dengan
mengikatkan diri kepada manusia. Jalan kepada Allah hanyalah satu. Siapa sesungguhnya
yang mengabdi kepada Allah, tidak terikat kepada seorang manusia pun ia
sebenar-benarnya bebas.”
[Surat Kartini kepada Ny. Ovink, Oktober 1900]
“Supaya Nyonya jangan ragu-ragu, marilah saya katakan ini
saja dahulu: Yakinlah Nyonya, KAMI AKAN TETAP MEMELUK AGAMA KAMI yang sekarang
ini. Serta dengan Nyonya kami berharap dengan senangnya, moga-moga kami
mendapat rahmat, dapat bekerja MEMBUAT UMAT AGAMA LAIN MEMANDANG AGAMA ISLAM
PATUT DISUKAI . . . ALLAHU AKBAR! Kita katakan sebagai orang Islam, dan bersama
kita juga semua insan yang percaya kepada Satu Allah, Gusti Allah, Pencipta
Alam Semesta" [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902]
"Bagaimana pendapatmu tentang ZENDING (Diakonia), jika
bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta-kasih,
bukan dalam KRISTENISASI? Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri
memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya . . . Pendek kata,
boleh melakukan Zending, tetapi JANGAN MENG-KRISTEN-KAN ORANG! Mungkinkah itu dilakukan?"
[Surat Kartini kepada E.C. Abendanon, 31 Januari 1903]
“Kesusahan kami hanya dapat kami keluhkan kepada Allah,
tidak ada yang dapat membantu kami dan hanya Dia-lah yang dapat menyembuhkan…”
“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu: Hamba
Allah (Abdullah).”
[Surat Kartini kepada Ny. E.C. Abendanon, 1 Agustus 1903]
R.A. Kartini dan Pandangannya Terhadap Emansipasi dan Barat
"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan
pendidikan anak-anak perempuan, BUKAN SEKALI-SEKALI KARENA KAMI MENGINGINKAN
ANAK-ANAK PEREMPUAN ITU MENJADI SAINGAN LAKI-LAKI DALAM PERJUANGAN HIDUPNYA.
Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita,
agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam
sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang
pertama-tama."
[Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober
1902]
“Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami
menjadi orang-orang setengah Eropa atau orang-orang Jawa Kebarat-baratan.”
[Surat Kartini kepada Ny. E.E. Abendanon, 10 Juni 1902]
"Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa
masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya.
Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu
sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam
masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai
peradaban?"
[Surat Kartini kepada Ny. E.C. Abendanon, 27 Oktober
1902]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar